Oleh: Syaiful Rajo Bungsu
INDSATU.net - Perebutan kursi Ketua KONI di berbagai daerah di Sumatera Barat makin menyerupai pertarungan politik praktis. Di balik spanduk dan musyawarah olahraga, sesungguhnya berlangsung kompetisi senyap antara kepentingan politik, ambisi pribadi, dan kekuatan modal. Padahal, jabatan Ketua KONI bukan kursi kekuasaan itu amanah pembinaan prestasi.
Kita tidak sedang memilih kepala daerah, apalagi membagi proyek. Tapi itulah yang terjadi. Proses pemilihan yang seharusnya berorientasi pada rekam jejak dan dedikasi di dunia olahraga, kini dibajak oleh mereka yang menjadikan olahraga sebagai batu loncatan menuju panggung politik atau sebagai alat transaksi kekuasaan.
Sementara itu, para atlet kita yang berlatih dalam keterbatasan, berjuang tanpa sorotan hanya jadi ornamen dalam perayaan seremonial. Padahal mereka adalah inti dari KONI, bukan latar belakang. Ironisnya, suara-suara cabang olahraga kerap tak berdaya, dibungkam oleh kekuatan yang lebih besar di balik layar.
Mari kita jujur: KONI tidak butuh manajer politik. KONI butuh pejuang olahraga.
Ketua KONI yang tulus membangun olahraga bukan sekadar hadir saat pembukaan turnamen. Ia paham bahwa olahraga adalah medan perjuangan yang membutuhkan ketekunan, bukan sekadar lobi. Ia tak menjadikan jabatan sebagai alat branding, tapi sebagai alat pengabdian. Ia bukan datang karena dibekingi kekuatan modal, tapi karena panggilan hati untuk memajukan anak-anak muda yang punya mimpi besar dari gelanggang kecil.
Namun tak bisa dipungkiri, dalam beberapa kasus, koneksi ke tingkat pusat kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Figur-figur tertentu mengklaim memiliki kedekatan dengan elite olahraga nasional, bahkan menyebut-sebut nama besar dari KONI Pusat atau Kemenpora sebagai dukungan. Alih-alih menjadi jembatan pembinaan, koneksi ini justru digunakan untuk memperkuat posisi tawar dalam pemilihan—bukan untuk memperjuangkan nasib atlet.
Padahal, koneksi ke pusat seharusnya digunakan untuk mendatangkan program, pelatihan nasional, dan akses ke event bergengsi, bukan sebagai senjata politik. Ketua KONI yang ideal adalah mereka yang mampu memanfaatkan jaringan pusat demi kemajuan daerah, bukan menjual nama besar untuk mengunci dukungan lokal.
Kita harus waspada. Ketika relasi vertikal lebih kuat dari suara cabang olahraga, ketika nama pejabat lebih menentukan dari prestasi, maka KONI tak lagi jadi rumah pembinaan, tapi jadi anak tangga kekuasaan.
Lalu, seperti apa reformasi KONI yang benar dan mendesak bagi Sumatera Barat?
1. Proses pemilihan harus diawasi publik dan media. Jangan lagi ada ruang gelap tempat lobi dan intervensi tumbuh subur. Transparansi adalah pagar pertama untuk menjaga integritas.
2. Cabang olahraga harus diberi ruang bicara yang riil. Bukan sekadar jadi pelengkap forum. Mereka tahu siapa yang benar-benar bekerja, siapa yang hanya berfoto.
3. Batasi masa jabatan ketua maksimal dua periode. Regenerasi harus dijamin. KONI bukan milik satu kelompok atau satu rezim. Ia milik atlet dan masyarakat.
4. Audit anggaran secara berkala dan libatkan pengawas independen. Agar dana benar-benar menyentuh pelatih, atlet, dan sarana yang dibutuhkan.
5. Dorong lahirnya pemimpin yang tumbuh dari gelanggang. Biarkan kursi Ketua KONI diduduki oleh mereka yang mencintai peluh latihan, bukan sekadar pencitraan.
Sumatera Barat punya sejarah panjang dalam olahraga. Kita punya atlet silat yang harum di Asian Games, pelari tangguh, petinju berprestasi, hingga bibit unggul di cabor dayung dan sepak bola. Semua itu butuh panggung dan pembinaan yang serius.
Kita tidak kekurangan atlet hebat. Yang kita butuhkan adalah pemimpin olahraga yang jujur, tegas, dan punya komitmen penuh. Seorang Ketua KONI yang bukan datang karena ingin dikenal, tapi karena ingin melihat daerah ini dikenal lewat prestasi.
Karena jika Ketua KONI dipilih hanya demi kepentingan, maka kita telah mengkhianati semangat para atlet yang berlatih dalam sunyi.
Jadi, kepada siapa pun yang mencalonkan diri menjadi Ketua KONI, jabatan ini bukan untuk disanjung, tapi untuk bekerja dalam diam. Bukan tempat menumpuk kekuasaan, tapi ladang pengabdian yang menuntut keberpihakan penuh kepada atlet, pelatih, dan masa depan olahraga daerah.
Jangan kejar kursi ini kalau Anda tak siap memikul beban mental, fisik, dan moral para pejuang olahraga yang selama ini hanya dihargai saat meraih medali, lalu dilupakan sesudahnya.
"Jika Anda tak punya hati untuk mendengarkan suara atlet, lebih baik mundur. Karena Ketua KONI bukan orang yang berdiri di depan kamera dia adalah orang yang berdiri paling belakang, menopang semua yang lain untuk sampai ke podium juara".(IST)
0 Komentar